Liburan Sekolah yang Mengajarkan Cara “Pulang”

2025-07-03 Blitar, vilage

Ketika liburan sekolah tiba, kebanyakan keluarga mencari tempat yang bukan hanya menyenangkan, tetapi juga memberi makna. Di antara hamparan alam yang hijau dan udara yang masih bersih, terdapat sebuah desa kecil di Kabupaten Blitar yang menawarkan sesuatu yang berbeda, Desa Sumberurip. Sesuai namanya, desa ini menjadi "sumber kehidupan" bagi banyak hal: tanaman, hewan, dan pengetahuan yang tumbuh alami dari bumi.


Di desa ini, anak-anak, remaja bahkan para orang tua tidak hanya sekadar bermain, tapi belajar langsung dari alam. Kalian bisa merasakan bagaimana menyentuh daun, biji kopi yang masih muda, bahkan terlibat langsung memetik/memanen buah kopi yang matang. Liburan kali ini momen yang pas untuk merasakan dan mendapat pengalaman empirik memanen buah kopi. Selain itu kalian akan mendengarkan penjelasan petani tentang cara merawat tanaman vanili yang sensitif, atau melihat dan mengenali secara langsung bagaimana merica tumbuh bergelantungan di batangnya. Setiap sudut kebun menjadi laboratorium terbuka, tempat yang sempurna untuk membangkitkan rasa ingin tahu, melatih ketekunan, dan mengenalkan nilai kerja keras sejak dini.



Tak hanya kebun, pengalaman semakin lengkap saat berkunjung ke peternakan warga. Anak-anak, bisa memberi makan kambing, menyaksikan proses perawatan domba, hingga mendengar cerita langsung dari para peternak tentang bagaimana mereka hidup berdampingan dengan alam. Sumberurip bukan sekadar destinasi wisata, melainkan ruang belajar hidup yang menyatu dengan kearifan lokal dan keseharian warga desa. Inilah liburan yang sesungguhnya: menyenangkan, bermakna, dan membekas.


Di saat dunia berlari makin cepat, kita justru semakin merindukan sesuatu yang pelan. Ketika kehidupan kota padat dengan jadwal rutinitas harian, dan kemacetan, ada bagian dari diri kita yang diam-diam ingin rehat, ingin kembali ke tempat di mana waktu berjalan lebih lambat, dan hidup terasa lebih jujur.



Di sanalah letak keistimewaan Desa Sumberurip desa di lereng gunung Kawi. Bukan sekadar pemandangan hijau atau udara bersih, tetapi sebuah ruang hidup yang masih menyimpan denyut budaya yang hangat dan membumi. Dan liburan sekolah adalah momen yang paling tepat untuk mengajak anak-anak (dan diri kita sendiri) menapaki jejak yang telah lama ditinggalkan: jejak akar budaya kita.


Membayangkan sebuah pagi yang sunyi. Kabut menggantung lembut di antara pepohonan, dan suara hewan saling bersahutan dari kejauhan. Anak-anak bangun bukan untuk menyalakan gawai, tapi untuk bersiap ke ladang dan ke sawah membantu menanam padi, atau terlibat dalam membuat masakan untuk bekal sarapan di sawah. Mereka tidak sekadar menonton atau menjadi komentator, tapi memberi kesempatan untuk terlibat langsung, belajar dengan tangan mereka sendiri, dan merasakan kebersamaan yang sulit ditemukan di balik tembok sekolah formal.



Budaya di desa lereng gunung bukanlah tontonan. Ia adalah kehidupan. Di setiap langkah di pematang sawah, di balik anyaman bambu, di racikan bumbu masakan tradisional, tersimpan nilai-nilai yang sudah diwariskan lintas generasi. Tidak heran jika anak-anak yang menghabiskan waktu di sini tidak hanya bersenang-senang, tapi juga berubah cara pandangnya: tentang alam, tentang kerja sama, tentang menghargai proses.


Pada sore hari, langit mulai berwarna jingga. Anak-anak duduk di bawah pohon rindang, mendengarkan kisah-kisah lama dari mulut para tetua. Tentang asal mula gunung yang mereka daki, tentang adat yang mengikat, dan tentang kearifan lokal yang menjaga alam dan sesama. Ini bukan sekadar dongeng, melainkan warisan tak tertulis yang perlahan meresap ke dalam hati mereka.


Di desa, mereka belajar satu hal yang mungkin tak diajarkan di sekolah atau rumah: bahwa kedamaian tidak datang dari kesempurnaan atau fasilitas mewah, tetapi dari kesederhanaan yang dijalani dengan hati. Bahwa hidup bisa sangat indah tanpa harus selalu terhubung ke dunia maya. Dan bahwa kita, sesungguhnya, berasal dari tempat seperti ini.


Untuk para orang tua, liburan ke desa bukan hanya tentang “mengisi waktu anak” saat libur sekolah. Ini adalah investasi nilai. Memberi anak kesempatan untuk mengenal akar budaya bukan berarti membawa mereka mundur ke belakang, tapi justru menanamkan fondasi yang kuat agar mereka bisa tumbuh kokoh di masa depan.



Dan untuk para remaja yang mulai bertanya tentang identitas, tentang makna hidup, dan tentang dunia yang terus berubah, desa bisa menjadi ruang hening yang memberi jawaban. Di tempat yang jauh dari keramaian, mereka bisa mendengar suara hati sendiri dengan lebih jelas.
Menilik jejak budaya masyarakat lereng gunung bukan hanya soal jalan-jalan. Ini adalah perjalanan pulang. Pulang ke akar, ke jati diri, dan ke kebijaksanaan yang tersembunyi dalam keseharian orang-orang desa. Di tengah gempuran modernitas, desa justru menjadi oase, tempat di mana kita bisa belajar kembali menjadi manusia seutuhnya.


Jadi, jika liburan sekolah kali ini terasa terlalu biasa, mungkin saatnya mencoba yang berbeda. Bukan ke tempat yang ramai, tapi ke tempat yang benar-benar hidup. Ajak anak-anakmu, keluargamu, atau bahkan dirimu sendiri untuk sejenak disconnect dari dunia luar, dan reconnect dengan budaya, alam, dan kedamaian yang sudah lama menanti di lereng gunung.
Karena terkadang, perjalanan paling berharga bukan yang paling jauh, tapi yang paling dalam.



Jejak Langkah di Kebun Kopi dan Rempah ,  Liburan yang Mengubah Pandangan



Saat matahari pagi mulai menyelinap di celah-celah perbukitan Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, sekelompok siswa berseragam olahraga tampak berbaris rapi. Tidak untuk berangkat ke sekolah seperti biasa, melainkan menuju sebuah kebun milik warga. Hari itu, mereka memulai liburan sekolah dengan cara yang berbeda — menyusuri kebun kopi dan rempah, mengenali kekayaan desa mereka yang selama ini hanya terdengar dari cerita.


Di antara barisan itu, Raka, siswa kelas 6 SD, melangkah dengan mata berbinar. Ia baru tahu bahwa pohon kopi ternyata tidak setinggi yang dibayangkannya. "Kupikir seperti pohon mangga," katanya sembari menunjuk buah kopi yang merah merona. Para siswa diberi kesempatan untuk memetik sendiri biji kopi, mencium aromanya yang khas, dan belajar bagaimana proses biji itu nantinya diolah menjadi bubuk kopi yang biasa dinikmati orang dewasa.



Perjalanan mereka berlanjut ke kebun rempah yang ditanami jahe (Zingiber officinale), Kapulaga (Elettaria cardamomum), vanili (Vanilla planifolia), merica (Piper nigrum)dan pala (Myristica fragrans). Bau tanah basah dan harum rempah menyambut langkah-langkah kecil itu. Seorang petani menjelaskan, “Ini jahe. Lihat daunnya, dan pegang batangnya yang menggembung di dalam tanah.” Tangan-tangan mungil itu menggali dengan penasaran, menemukan rimpang yang biasa hanya mereka lihat dalam bentuk irisan di dapur ibu.


Namun yang paling membuat semua siswa terdiam adalah saat mereka tiba di deretan tanaman vanili. Di sinilah mereka menyaksikan sesuatu yang tak akan mereka temukan dalam buku pelajaran: proses penyerbukan bunga vanili yang hanya bisa dilakukan dengan bantuan tangan manusia. Seorang  petani menunjukkan caranya dengan telaten, menggunakan tusuk gigi kecil untuk memindahkan serbuk sari ke kepala putik. Lalu, satu per satu siswa mencoba sendiri.


 “Rasanya seperti jadi ilmuwan,” ujar Salsa, siswi yang berhasil melakukan penyerbukan pertamanya.



Tak hanya melihat dan mencoba, anak-anak juga diajak berbincang dengan para petani tentang bagaimana menjaga tanaman-tanaman tersebut. Mereka mendengar kisah bagaimana pala dulu jadi rebutan bangsa asing, atau bagaimana kopi dari lereng Doko mulai dikenal hingga luar daerah. Mata mereka berbinar, bukan hanya karena rasa ingin tahu, tapi karena mulai tumbuh rasa bangga pada tanah tempat mereka tinggal.


Kegiatan ini bukan sekadar wisata atau kunjungan biasa. Bagi anak-anak itu, ini adalah momen berharga untuk menyentuh langsung potensi alam yang sebelumnya tersembunyi di balik pagar kebun dan rutinitas. Mereka belajar bahwa tanah tempat mereka tumbuh bukanlah tanah biasa — tapi tanah yang kaya, subur, dan menyimpan kekuatan besar jika dirawat dengan cinta.


Dan ketika matahari mulai condong ke barat, mereka pulang dengan kaki yang lelah tapi hati yang penuh semangat. “Kalau besar nanti, aku mau punya kebun vanili sendiri,” kata Raka dengan yakin. Liburan kali ini tidak hanya memberi cerita baru untuk dibagikan di rumah, tapi juga menanamkan benih kesadaran — bahwa sumber daya alam lokal bukan sekadar warisan, tapi masa depan yang bisa mereka bentuk sendiri.



 

Tag: accomodation, blitar, blitarstopover, botani, coffe, coffeattraction, coffebean, community, culturalexplorer, culture, culturelovers, dutch, ecotourism, escape, experience, explore, familytravelers, farmer, green, harvest, heartofjava, hiddencharm, hiking, hospitality, humaninterestfotographer, indonesianculturaltourism, indonesiantourism, javasuntoldhistory, jogjamalang, laboratorium, landscapefotographer, local, locallovers, luxury, malangjogja, mountain, nature, naturelovers, offthebeatenpath, onedayescape, pauseinblitar, plantations, redefineluxury, roasting, sabatokaliwuanvibes, slowtravel, slowtraveler, soekarno, soekarnolegacy, soekarnoroots, spice, station, sumberuriphiddencharming, sumberuripimmerse, sumberuripmoreexclusifethanubudbali, sumberuripvibes, takeabreak, tradition, traditional, traditionalmarket, train, travel, travelersfotographer, trekking, TUInetherlands, untoldstory, village, visit